Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan penyakit gagal ginjal kronis yang umumnya didominasi oleh orang lanjut usia, mulai merambah usia produktif.
Ayu mengenang saat usianya baru 21 tahun, ia didiagnosis menderita gagal ginjal kronis pada tahun 2021. Saat itu, Ayu bekerja di bisnis online milik saudaranya di Jakarta. Ia sering tidur larut dan kurang memperhatikan pola makan dan minum. Ayu lebih sering mengonsumsi teh botol dan minuman kemasan lain daripada air putih. Di malam hari, ia sering menyeduh kopi hitam dengan gula sambil bekerja, tanpa menyadari bahwa teh botol yang ia minum mengandung sekitar 18 gram gula.
Setelah beberapa waktu, Ayu mulai merasa mual, pusing, dan sakit kepala, tetapi ia mengira ini hanya gejala lambung atau kelelahan. Bahkan saat matanya bengkak, Ayu dan keluarganya tidak curiga ada masalah serius. Ia juga pernah mengalami bengkak di kaki dan gatal di seluruh tubuh, yang saat diperiksakan ke dokter, didiagnosis sebagai asam urat.
Pada puncak pandemi COVID-19 di tahun 2021, setelah merasa semakin sakit dan lemas usai sholat Idul Fitri, Ayu dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sanalah ia didiagnosis menderita gagal ginjal kronis. Penyakit ini memerlukan terapi pengganti fungsi ginjal atau cuci darah, seperti yang dialami oleh Ayu. Dokter menyebutkan bahwa hipertensi menjadi penyebab utama dari kondisi tersebut.
Kaget dengan diagnosis tersebut, Ayu juga dinyatakan positif COVID-19 dan harus menjalani isolasi. Setelah isolasi, Ayu mulai menjalani cuci darah (hemodialisis) dua kali seminggu. Namun, efek dari cuci darah sangat berat baginya, hingga akhirnya dokter menyarankan metode Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), yang memungkinkan Ayu melakukan cuci darah sendiri di rumah melalui perut.
Menjalani cuci darah di usia muda tidaklah mudah, seperti yang dialami Tony Richard Samosir, yang didiagnosis gagal ginjal pada usia 26 tahun karena hipertensi yang tidak terkontrol. Tony akhirnya mendapatkan donor ginjal dan menjalani transplantasi, yang mendorongnya bersama penyintas lain untuk mendirikan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) pada tahun 2015.
Pada peringatan Hari Ginjal Sedunia tahun 2023, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa gagal ginjal kronis yang biasanya menyerang lansia, kini mulai merambah usia produktif. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan peningkatan prevalensi gagal ginjal kronis di Indonesia. Meski prevalensi gagal ginjal menurun di beberapa kelompok umur pada tahun 2023, proporsi hemodialisis di usia produktif justru meningkat.
Dokter Iqbal Mochtar dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjelaskan bahwa gagal ginjal kronis disebabkan oleh faktor seperti diabetes yang tidak terawat dan hipertensi. Data menunjukkan bahwa jumlah pasien cuci darah di Indonesia terus meningkat, terutama selama periode 2016-2020. Tony dari KPCDI juga melihat peningkatan jumlah pasien cuci darah di lapangan, termasuk di kalangan anak muda yang gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis.
Menurut Tony, kebiasaan masyarakat Indonesia mengonsumsi minuman berpemanis menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus gagal ginjal di kalangan anak muda. Data menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi minuman berpemanis tertinggi di Asia Tenggara. Tony juga menyoroti rendahnya literasi masyarakat terhadap informasi kesehatan, yang turut memengaruhi kebiasaan konsumsi yang tidak sehat.
Di luar itu, diabetes melitus dan hipertensi juga menjadi penyebab utama gagal ginjal kronis di Indonesia. Data menunjukkan bahwa prevalensi diabetes dan hipertensi masih tinggi, yang berpotensi meningkatkan prevalensi gagal ginjal di masa depan. Selain itu, Tony juga menyoroti kesenjangan dalam layanan kesehatan bagi pasien cuci darah di Indonesia, khususnya dalam hal aksesibilitas obat dan layanan laboratorium di fasilitas kesehatan tipe C dan D.
-paraphrased
source : tirto.id