Jogjakeren.com – Gamelan dinobatkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda ke-12 asal Indonesia yang berhasil diinskripsi di UNESCO. Sebelumnya, Indonesia telah menginskripsi 11 elemen budaya, meliputi wayang, keris, batik, angklung, dan lainnya. Penetapan ini diputuskan oleh Komite Konvensi Intangible Cultural Heritage, UNESCO pada 15 Desember 2021.
Presiden Joko Widodo turut menyambut dengan hangat dan bangga atas penetapan ini. “Gamelan sudah lama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat di berbagai daerah di Indonesia, terus dipelajari, dikembangkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi,” tulisnya di akun instagram @jokowi.
United Nations for Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mencatat bahwa gamelan bukan hanya sekedar sarana ekspresi budaya, namun juga membangun koneksi antara manusia dan alam semesta. Gamelan dinilai turut mengajarkan sikap saling menghormati, mencintai, dan kepedulian antar sesama.
Bagaimana gamelan berperan dalam kehidupan budaya di keraton?
Di Indonesia, alat musik gamelan mudah dijumpai di berbagai daerah, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Cirebon, Bali, Madura, dan Lombok. “Hingga kini, gamelan dikenal sebagai salah satu alat musik tradisional yang membawa pengaruh besar bagi dunia musik internasional,” tutur Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Aturan ini diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 5 tentang Pemajuan Kebudayaan, pada tahun 2017. UU ini mengatur pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sebagai upaya pemajuan objek-objek kebudayaan.
Selain sebagai sarana ekspresi budaya, gamelan juga telah lama dilibatkan dalam kegiatan tradisional, ritual keagamaan, serta media diplomasi antar negara. Di Keraton Yogyakarta, alat musik gamelan bahkan merupakan salah satu benda pusaka.
Masyarakat Jawa menyebut gamelan sebagai gangsa yang merupakan jarwa dhosok (akronim) dari tiga sedasa (tiga dan sepuluh). Tiga sedasa merujuk pada elemen pembuat gamelan berupa perpaduan tiga bagian tembaga dan sepuluh bagian timah. Perpaduan tersebut menghasilkan perunggu, yang dianggap sebagai bahan baku terbaik untuk membuat gamelan.
Dilansir dari laman keratonjogja.id, Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 21 perangkat gamelan yang dikelompokkan menjadi dua, yakni Gangsa Pakurmatan dan Gangsa Ageng. Gangsa Pakurmatan dimainkan untuk mengiringi Hajad Dalem atau upacara adat keraton. Gangsa Pakurmatan terdiri dari Kanjeng Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, Kanjeng Kiai Guntur Madu, Kanjeng Kiai Nagawilaga, dan Gangsa Carabalen.
Sedangkan, Gangsa Ageng dimainkan sebagai pengiring pergelaran seni budaya keraton. Selain itu, Gangsa Ageng memiliki instrumen lebih lengkap dibanding Gangsa Pakurmatan. Gangsa Ageng yang dimiliki Keraton Yogyakarta antara lain Kanjeng Kiai Surak, Kanjeng Kiai Kancil Belik, Kanjeng Kiai Guntur Sari, Kanjeng Kiai Marikangen, dan sebagainya.