Mengulik Kearifan Lokal Jawa Dalam Film Pendek “Bali Srawung”

Bali srawung
Film Pendek Bali Srawung karya Gema Angkasa Films, Cr: YT Framelens ID

Jogjakeren.com – Menurut Sibarani (2012) kearifan lokal merupakan suatu bentuk pengetahuan orisinil dalam masyarakat yang berasal dari nilai luhur budaya masyarakat setempat untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat atau dapat dikatakan bahwa kearifan lokal sebagai bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dilestarikan dalam kurun waktu yang turun-temurun oleh sekelompok orang ataupun wilayah tempat tinggal mereka.

Film ini berkisah tentang kehidupan sosial Jawa yang bermakna kembali berbaur (bali srawung). Dalam kehidupan sosial Jawa, srawung adalah bentuk komunikasi masyarakat yang mencirikan adanya keharmonisan dan kerukunan. Masyarakat Jawa sudah terlatih melalui tradisi budaya, baik dalam kondisi normal maupun bencana. Sehingga warisan tradisi dan kearifan lokal budaya senantiasa dirawat dan dijaga oleh masyarakat.

Srawung tidak hanya dimaknai sebuah perkumpulan, akan tetapi dari srawung itulah memunculkan sebuah rasa yakni belajar, menimba inspirasi atau ngangsu kawruh. Dengan demikian, srawung merupakan bagian dari tatanan nilai yang
melekat di kalangan masyarakat. Dalam srawung, masyarakat bisa saling menyampaikan realitas yang terjadi di sekitarnya atau ngudoroso.

Read More

Film Bali Srawung merupakan salah satu film pendek berbahasa Jawa, diproduksi oleh Gema Angkasa films Yogyakarta yang mendapatkan penghargaan kategori 10 film favorit Lomba Video New Normal Versiku dari Kementrian Sosial.

Film Bali Srawung dengan durasi 7 menit ini, selain berkisah tentang makna srawung juga menunjukkan secara visual fenomena kelompok masyarakat pedesaan di Yogyakarta yang merepresentasikan kearifan lokal budaya Jawa.

Berikut ini fenomena dan penjelasannya:

1. Permainan Tradisional Engklek

Dalam film Bali Srawung ditampilkan adanya sekelompok anak desa yang memainkan permainan tradisional Engklek. Di kalangan masyarakat Jawa, permainan ini memiliki makna tentang bagaimana manusia dalam menjalani hidup. Dimana dalam aturan permainan, pemain harus mengurutkan lemparan gacuk sesuai angka agar bisa memiliki petak yang disebut sebagai rumah.

Pola tersebut diartikan bahwa dalam kehidupan manusia harus berjuang terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam permainan Engklek juga terdapat peraturan yaitu pemain dilarang memijak petak yang sudah dimiliki oleh lawan. Hal ini diartikan bahwa dalam kehidupan manusia tidak boleh mengambil hak milik orang lain.

2. Padasan atau Tempayan

bali srawung
Padasan terletak di depan rumah

Budaya Jawa memiliki kearifan lokal yang bernama padasan, yakni sebuah gentong besar yang di dalamnya berisi air untuk membasuh anggota tubuh seperti tangan, kaki, dan wajah sebelum masuk rumah. Tidak hanya digunakan untuk mencuci saja, padasan juga menjadi tempat untuk bersuci atau berwudhu sebelum menjalankan ibadah salat.

Penempatan padasan bukan hanya agar bisa digunakan pemilik rumah saja, melainkan juga bisa digunakan oleh orang lain yang kebetulan melintas. Selain bermanfaat pada sesama juga menjadikan bukti luhurnya kehidupan sosial bermasyarakat di pedesaan. Letak gentong yang berada di luar rumah mengajarkan pada pembiasaan diri untuk bersuci (membasuh tangan, kaki, dan wajah) sebelum masuk ke rumah. Sementara orang lain yang memanfaatkan padasan tersebut, mereka diajarkan untuk bersikap sadar dan mawas diri dengan menggunakan air sebijak mungkin.

3. Nginang Daun Sirih

Nginang daun sirih merupakan tradisi zaman dahulu dengan tujuan untuk mencegah penyakit agar tidak masuk ke dalam tubuh. Maka dari itu, masyarakat Jawa biasanya menanam sirih di depan rumah. Menurut Mulyadi (2018: 2) nginang merupakan simbol dari harapan untuk menjadi manusia yang selalu rendah hati dan meneduhkan hati layaknya sirih.

4. Kendhi atau Wadah Air Minum

Kendhi dalam masyarakat Indonesia khususnya Jawa berarti kehidupan karena tempat untuk menampung air minum. Air untuk hidup bagi semua orang dalam kehidupan singkat ini. Hanya berbekal satu pengetahuan dasar, setiap mahkluk hidup butuh air. Seperti halnya pepatah Jawa “Urip kuwi mung nunut ngombe” (hidup itu hanya menumpang minum).

Hidup itu singkat, tidak boleh serakah, harus rukun dan saling tolong menolong antar sesama. Kendhi air minum juga selalu disiapkan untuk orang-orang yang mampir dari sawah atau ladang dan untuk menjaga kerukunan antar warga. Inilah wujud nyata solidaritas yang dulu tampak nyata dalam masyarakat.

5. Srawung

Contoh pengimplementasian tradisi srawung dalam memperkukuh keharmonisan dan kerukunan seperti yang terlihat dalam film Bali Srawung yaitu dengan menjalin dan menjaga hubungan silaturahmi antar tetangga walaupun berbeda agama maupun suku, saling menghormati dan toleransi terhadap perbedaan, dan berpartisipasi aktif dalam berbagai
kegiatan masyarakat seperti gotong royong dan kerja bakti.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment