Jogjakeren.com – Banyak pendapat mengatakan anak muda zaman sekarang kurang menghargai sesama, rasa hormat kepada orang yang lebih tua, tidak saling menjaga kerukunan dan simpati yang menipis. Memang tak dapat dipungkiri, seiring dengan perkembangan zaman, tingkah laku para anak muda berubah dari waktu ke waktu. Rasa hormat terhadap orang yang lebih tua secara terang-terangan sering kali tidak dihiraukan.
Di bawah ini akan diuraikan bagaimana kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa tersebut.
Menurut Hildred Geertz (dalam Magnis Suseno, 2001:38) menjelaskan bahwa terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Pertama adalah prinsip kerukunan, setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik. Kaidah kedua, agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu bersikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Prinsip kerukunan
Prinsip kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Prinsip ini juga menuntut kita sebagai orang jawa agar mampu dalam hal menghindari adanya konflik di dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada dasarnya masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang menimbulkan konflik atau mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka.
Walaupun menunjukkan sikap tenang pada saat marah itu sulit namun kita dapat menyembunyikannya dengan sikap kita yang masih dapat saling menerima, berinteraksi dengan tetangga atau masyarakat yang memiliki salah kepada kita dengan cara kita berpura-pura (ethok-ethok) tidak terjadi sesuatu apapun. Permintaan atau tawaran tidak boleh langsung ditolak. Jawaban yang tepat adalah suatu nggih yang sopan dan tidak pernah langsung kata mboten. Satu keutamaan yang sangat dihargai orang Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.
Prinsip Hormat
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Apabila kedua orang saling bertemu satu sama lain terutama orang Jawa maka bahasa, pembawaan dan sikap mereka harus mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam tatanan masyarakat.
Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat, sedangkan mereka yang kedudukannya lebih rendah adalah mempunyai sikap kebapaan atau keibuan yang mana mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi. Bahasa Jawa terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika. Bahasa krama untuk mengungkapkan sikap hormat, sedangkan yang satunya mengungkapkan keakraban (ngoko).
Hildred Geertz menguraikan situasi-situasi yang menuntut sikap hormat yaitu wedi, isin, dan sungkan. Pertama anak harus belajar merasa wedi terhadap orang yang harus dihormati, yaitu pada yang lebih tua dan tehadap orang asing. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Sungkan adalah malu dalam arti lebih positif. Sungkan digambarkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat pada pribadi lain.
Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan prinsip hormat. Dengan demikian individu merasa terdorong selalu bersikap hormat, sedangkan kelakukan yang kurang hormat itu akan menimbulkan rasa tak enak.
Apabila setiap orang Jawa menaati dan menerima prinsip ini sesuai dengan perannya di dalam masyarakat masing-masing maka suatu tatanan sosial di dalam masyarakat akan terjamin dan berjalan lancar serta dapat menghindari munculnya konflik dalam masyarakat.
Orang jawa harus mengerti bagaimana membawa diri, bersikap,dan bertutur dalam masyarakat